Rabu, 26 Oktober 2016

Apa itu Filsafat?

Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philos berarti suka, cinta, atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan. Dengan demikian, secara sederhana, filsafat dapat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan.
Definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:
1.      Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
2.      Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmua pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
3.      Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
4.      Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
5.      Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:
1.      Apakah yang dapat kita ketahui?
2.      Apakah yang harus kita lakukan?
3.      Apa yang dapat saya harapkan?
4.      Apakah manusia itu?

6.      Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
7.      Drs H. Hasbullah Bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Ada beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak dan fungsinya sebagai berikut:
  • Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
  • Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
  • Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (erti spekulatif)
  • Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentrisme.
  • Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Filsafat bisa dimengerti dan dilakukan melalui banyak cara, sehingga berlaku prinsip “Variis modis bene fit”, dapat berhasil melalui banyak cara yang berbeda. Bertens menengarai ada beberapa gaya berfilsafat. Pertama, berfilsafat yang terkait erat dengan sastra. Artinya, sebuah karya filsafat dipandang melalui nilai-nilai sastra tinggi. Contoh: Sartre tidak hanya dikenal sebagai penulis karya filsafat, tetapi juga seorang penulis novel, drama, scenario film. Bahkan beberapa filsuf pernah meraih hadiah Nobel untuk bidang kesusasteraan.
Kedua, berfilsafat yang dikaitkan dengan social politik. Di sini, filsafat sering dikaitkan dengan praksis politik. Artinya sebuah karya filsafat dipandang memiliki dimensi-dimensi ideologis yang relevan dengan konsep negara. Filsuf yang menjadi primadona dalam gaya berfilsafat semacam ini adalah Karl Marx (1818-1883) yang terkenal dengan ungkapannya: “Para filsuf sampai sekarang hanya menafsirkan dunia. Kini tibalah saatnya untuk mengubah dunia”.
Ketiga, filsafat yang terkait erat dengan metodologi. Artinya para filsuf menaruh perhatian besar terhadap persoalan-persoalan metode ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes dan Karl Popper. Descartes mengatakan bahwa untuk memperoleh kebenaran yang pasti kita harus mulai meragukan segala sesuatu. Sikap yang demikian itu dinamakan skeptis metodis. Namun pada akhirnya ada satu hal yang tidak dapat kita ragukan, yakni kita yang sedang dalam keadaan ragu-ragu, Cogito Ergo Sum.
Keempat, berfilsafat yang berkaitan dengan kegiatan analisis bahasa. Kelompok ini dinamakan mazhab analitika bahasa dengan tokoh-tokohnya antara lain: G.E Moore, Bertrand Russel, Ludwig Wittgenstein, Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin. Corak berfilsafat yang menekankan pada aktivitas analisis bahasa ini dinamakan logosentrisme. Tokoh sentral mazhab ini, Wittgenstein mengatakan bahwa filsafat secara keseluruhan adalah kritik bahasa. Tujuan utama filsafat ini adalah untuk mendapatkan klarifikasi logis tentang pemikiran. Filsafat bukanlah seperangkat doktrin, melainkan suatu kegiatan.
Kelima, berfilsafat yang dikaitkan dengan menghidupkan kembali pemikiran filsafat di masa lampau. Di sini, aktifitas filsafat mengacu pada penguasaan sejarah filsafat. Dalam hal ini, mempelajari filsafat yang dipandang baik adalah dengan mengkaji teks-teks filosofis dari para filsuf terdahulu.
Keenam, masih ada gaya filsafat lain yang cukup mendominasi pemikiran banyak orang, terutama di abad keduapuluh ini yakni berfilsafat dikaitkan dengan filsafat tingkah laku atau etika. Etika dipandang sebagai satu-satunya kegiatan filsafat yang paling nyata, sehingga dinamakan juga praksiologis, bidang ilmu prkasis.
SUMBER :

Mustansyir, Rizal.2008. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aliran-Aliran Ontologi

Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)” 

a.      Apakah yang ada itu? (What is being?)

Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :

1.      Aliran Monoisme dalam Filsafat

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :

a)      Materialisme dalam Filsafat

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. 

Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam. 

b)     Idealisme dalam Filsafat

Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati. 

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu. 

2.      Aliran Dualisme dalam Filsafat

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. 

Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M). 

3.      Aliran Pluralisme dalam Filsafat

Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. 

Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal. 

4.      Aliran Nihilisme dalam Filsafat

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia. 

Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup. 

5.      Aliran Agnostisisme dalam Filsafat

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. 

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.

b.      Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?) 
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
c.       Di manakah yang ada itu? (Where is being?) 
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil. 

SUMBER :

Sabtu, 22 Oktober 2016

Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan

Pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang mendasar dan mendalam, sehingga diperlukan analisis dan pemikiran filosofis. Selain perumusan tujuan, seluruh aspek dalam pendidikan mulai dari konsep, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan pemikiran filosofis.
Dalam perkembangan pendidikan menjadi cabang ilmu yang mandiri dipengaruhi oleh pandangan dan konsep yang dikemukan oleh para filosofi.

1.      Plato (428-348 SM)
Plato merupakan filosofi yunani yang aktif mengembangkan filsafat dengan mendirikan sekolah khusus yang disebut ‘academia’. Plato berpandangan bahwa konsep ide merupakan pandangan terdapat suatu dunia di balik alam kenyataan, sebagai hakikat dari segala yang ada. Artinya apa yang diamati sehari-hari adalah ide tersebut, sebagai sumber segala yang ada: kebaikan dan keburukan. Ide merupakan suatu hal yang objektif yang didalamnya berpusat dan dikendalikan oleh puncak ide yang digambarkan sebagai ide tentang kebaikan yang diformulasikan sebagai tuhan.

2.      Aristoteles (384 – 348 SM)
Aristoteles yang merupakan bapak ilmu berpandangan bahwa ilmu pendidikan dibangun melalui riset pendidikan. Riset merupakan suatu gerak maju dan kegiatan-kegiatan observasi menuju prinsip-prinsip umum yang bersifat menerangkan dan kembali kepada observasi. Pandangan ini berkembang pada abad 13 – 14.
Aristoteles berpandangan bahwa ilmuan hendaknya menarik kesimpulan secara induksi dan deduksi. Dalam tahapan induksi, generalisasi-generalisasi (kesimpulan-kesimpulan umum) tentang bentuk ditarik dari pengalaman pengindraan. Selanjutnya kesimpulan yang diperoleh dari tahapan induksi dipergunakan untuk premis-premis untuk deduksi dari pernyataan-pernyataan tentang observasi.
Penyempurnaan teori aristoteles dilakukan oleh beberapa filosofi lain yaitu:
a.       Robert Grosseteste yang menyebutkan bahwa metode induktif-deduktif Aristoteles sebagai Metode perincian dan penggabungan. Tahap Induksi meruapakan sebuah perincian gejala yang menjadi unsur-unsur pokok dan tahap deduksi sebagai penggabungan unsur-unsur pokok yang membentuk gejala asli.
b.      Roger Bacon mengusulkan agar matematika dan eksperimen merupakan dua instrumen utama dari penyelidikan ilmiah. Dia mengemukakan ada tiga hak istimewa Ilmu Eksperimental:
1)      Kesimpulan yang diperoleh melalui penalaran induksi diuji lebih dulu dengan eksperimen;
2)      Penggunaan eksperimen dalam penyelidikan ilmiah menambah ketelitian dan keluasan pengetahuan faktual;
3)      Dengan kekuatannya sendiri, tanpa bantuan ilmu-ilmu lainnya, eksperimen dapat menyelidiki rahasia alam.
c.       John Duns Scotus yang menegaskan sebuah metode induksi dalam bentuk persamaan, yaitu merupakan teknis analisis sejumlah hal khusus yang mempunyai pengaruh khusus terhadap peristiwa.
d.      Ockham yang menegaskan metode induksi dalan bentuk perbedaan, bahwa ilmuwan dalam menyusun pengetahuan tentang apa yang diciptakan Tuhan dengan melalui induksi hanya terdapat kesatuan-kesatuan yang bersifat pembawaan di antara gejala-gejala. Metode Ockham membandingkan dua hal khusus dimana yang satu ada pengaruhnya dan satunya lagi tidak ada pengaruhnya.

3.      Johan Amos Comenius
Filsuf pertama yang memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat pendidikan adalah Johan Amos Comenius seorang pendeta Protestan. ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan.
Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru perkembangan alam. Artinya proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik.
Hal tersebut awal dari pemikiran filsafat pendidikan naturalisme yang lahir pada abad 17 dan mengalami perkembangan pada abad 18.
Dimensi mengenai pemikiran filsafat pendidikan naturalisme adalah sebagai berikut:
a.       Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukan oleh Comenius
b.      Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra.
c.       Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme.
d.      Demensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta.
Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke, Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari pengalaman nyata, tidak ada sesuatu dalam jiwa tanpa melalui indra. Jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia menghendaki pengajaranpun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara berurutan (sequence), step by step dan tidak bersamaan.

Selain tokoh-tokoh barat, filsafat pendidikan dalam pandangan tokoh filosofi islam sebagaimana diuraikan berikut:
1.      Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M)
Filosofi Islam yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan strategis sebagai hasil dari proses berfikir. Pendidikan merupakan transformasi nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan juga merupakan upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
2.      Abduh Ibnu Hasan Khairullah (1849 – ….M)
Filosofi Islam dari Mesir mengemukakan bahwa pendidikan bertujuan mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang memungkinkan anak didik mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Proses pendidikan dapat membentuk kepribadian muslim yang seimbang, pendidikan tidak hanya mengembangkan aspek kognitif (akal) semata tapi perlu menyeleraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik (keterampilan).
3.      Muhammad Iqbal (1877 – 1938M)
Filosofi Islam dari India, berpandangan bahwa pendidikan merupakan bagian tidak dapat dipisahkan dari peradaban manusia, bahkan pendidikan merupakan subtansi dari peradaban manusia. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu memadukan dualisme (antara aspek keduniaan dan aspek keakhiratan secara sama dan seimbang).
4.      Ahmad Dahlan (1869 – 1923M)
Ahmad Dahlan adalah tokoh pendiri Muhammadiyah yang berpandangan bahwa pendidikan bertujuan menciptakan manusia yang (1) baik budi, yaitu alim dalam agama; (2) luas pandangan, yaitu alam dalam ilmu-ilmu umum dan (3) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan agama dan pendidikan umum dipadukan secara selaras dan berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

SUMBER :


Rabu, 19 Oktober 2016

Mempertanyakan Postmodernis

Tanggapan pendidikan untuk filosofi postmodernisme sikap akan banyak menarik bagi filsuf dan pendidik yang hanya mengabaikan itu.kritik dari sikap ponsmodernis penuh sesk nafas cenderung berfokus kepada tiga dugaan kekurangan:
1.      Adalah parodi dari salah satu filosofi tradisional yang meminjamkan udara palsu orisinalitas.
2.  Kelemahan dari banyak argumen karena dalam banyak kasus kegagalan untuk mengindahkan perbedaan SD.
3.      Karakter melemahkan dirinya.

Postmodernis khas,kita melihat menganggap diri mereka sebagai peledak proyek pencerahan itu,mereka mengklaim,telah diberikan kepada modernitas cap.dalam tulisan tulisan postmodernis tak terhitung jumblahnya, proyek yang dijelaskan dalam hal iman dalam kekuatan akal untuk menemukan apriori sifat tujuan dunia dan tatanan moral karna mereka independen dari perspektif dan kepentingan manusia.Tetapi ini adalah parodi dari pencerahan berfikir.hal ini terutama aneh untuk menemukan proyek yang disisipkan dari Immanuel Kant. Kedua klaim tersebut adalah yang mengkritik pertamanya setelah semua adalah bahwa meskipun pretensi dogmatis,alasan tidak mampu menemukan apa-apa tentang dunia seperti itu dalam dirinya sendiri.Dan bahwa dunia yang ada dapat pemahaman apapun dalam tergantung pada struktur kognisi dan persepsi kita.lebih umumnya,penekanan pemikir pencerahan tidak oada kekuatan akal tanpa bantuan,tetapi pada kemampuan infestigasi empiris dibebaskan dari berbagai prasangka teologis dan metafisik,untuk memberikan pemahaman tentang dunia dan sifat manusia. Apalagi Jurgen Habermas menekankan justru selama periode pencerahan dalam tulisan Kant, Tichte, dan diatas semua, Hegel – bahwa pertanyaan tentang bagaimana kita harus menanggapi fakta bahwa kita sendirilah yang bertanggung jawab untuk nilai-nilai kami, tujuan, dan sifat pertama menjadi diam: sangat pertanyaan yang mana penulis postmodernis memberika kesan menjadi yang pertama untuk mengahadapinya abad kedua puluh "analitis" filsafat sering digambarkan oleh postmodernis sebagai melanjutkan proyek Pencerahan. Namun dalam tulisan-tulisan, antara lain, Wilfred Sellars, Donald Davidson, dan John McDowell, tidak ada kurang permusuhan daripada di kamp postmodernis terhadap citra realitas tertentu "di luar sana" dengan yang skema konseptual dan linguistik kita mungkin dibandingkan . Dalam filsafat moral, terutama, kecenderungan analitis dominan telah penolakan dari "realisme moral", sedangkan dalam filsafat ilmu, sulit untuk memikirkan seorang pemikir bahasa Inggris dari catatan yang belum diantisipasi serangan postmodernis pada gambar dari sains sebagai penyelidikan bebas nilai yang menetapkan, dengan pasti sempurna, sifat realitas karena menyajikan diri ke pikiran berprasangka (lihat Mackenzie, 1998).

Bahwa penulis postmodernis sering bersalah parodi sejarah, dan bahwa, sebagai akibatnya, kebaruan banyak klaim mereka berlebihan, tidak mungkin dari momen besar dalam diri mereka. Mereka, bagaimanapun, mengundang kecurigaan bahwa proklamasi postmodernis agains objektivitas, kebenaran, rasionalitas, otonomi moral, dan sebagainya itu sendiri respon berlebihan untuk wawasan yang baik baru maupun, ketika digenggam benar, cenderung menginspirasi retorika radikal tersebut. Kecurigaan, kritik yang sama, truns menjadi kepastian kapan seseorang meneliti argumen digunakan oleh postmodernis mendukung mereka proklamasi. Argumen-argumen ini, para kritikus menuduh, adalah orang lemah yang reflectblindness ke berbagai, kadang-kadang jelas, perbedaan.

Perhatikan, misalnya, desakan bahwa dunia seperti yang dijelaskan oleh ilmu-ilmu bukan merupakan "tujuan", tapi "dibangun", salah satu. Seringkali satu-satunya alasan yang diberikan untuk ini adalah disangkal bahwa teori-teori ilmiah merupakan konstruksi manusia. Jelas kita harus membedakan antara X dan teori X, dan dari fakta bahwa yang terakhir adalah konstruksi, tidak mulai mengikuti mantan. Atau mempertimbangkan klaim bahwa karena semua penyelidikan mengandaikan praktek dan kepentingan sosial. Kita harus meninggalkan pretensi untuk memberikan representasi yang benar dari realitas independen. Ini gagal untuk membedakan pemikiran unobjectionable yang representasi kausal tergantung pada faktor-faktor sosial dari satu perdebatan bahwa mereka tentu terinfeksi oleh mereka, yang representatitions tidak pernah bisa melampaui kepentingan dan perspektif yang membuat mereka mungkin (lihat Siegel, 1995). Atau mempertimbangkan, akhirnya klaim bahwa sekali sesuatu yang terbukti "diciptakan" atau "dibangun", bukan "alami" maka tidak lagi "kendala" kita dan kita bebas untuk "membuat" atau "menciptakan" sesuatu yang lain di nya tempat. Seseorang tidak harus, bagaimanapun, membingungkan alami dengan tetap, atau "diciptakan" dengan opsional. Struktur sintaksis bahasa Inggris adalah, dalam arti "diciptakan" oleh manusia, tetapi tidak ada speaker dapat mengabaikan mereka tanpa membayar harga unintelligibility. satu juga tidak menetapkan bahwa aturan-aturan moral tertentu tidak mengikat hanya dengan mengamati bahwa dalam arti yang sama, mereka adalah "penemuan" manusia.

Sebuah garis akhir kritik adalah bahwa sikap postmodernis adalah diri sendiri. Pada sederhana, kritik ini mengambil bentuk mengidentifikasi paradoks yang dihasilkan oleh penolakan kebenaran dan rasionalitas. Bagaimana penolakan tersebut sendiri bisa benar atau wajar untuk mendukung? Dan jika mereka tidak bisa, mereka harus diabaikan. postmodernis radikal menanggapi ini dalam salah satu dari dua cara. Mereka dapat mengambil di dagu, tetapi menambahkan bahwa tuduhan paradoks milik tradisi "logocentric" itu pula harus "didekonstruksi". Akibatnya, mereka senang menganggap pernyataan dan proposal mereka sendiri sebagai "bergerak" dalam permainan bahwa kita bebas untuk bergabung dalam atau tinggal jauh dari. Atau, mereka mungkin menolak saran bahwa mereka menyangkal kebenaran dan rasionalitas.


Bersikeras bahwa hanya konsepsi tradisional ini yang sedang rubbished dan bahwa pernyataan mereka sendiri bisa benar atau rasional dalam indera diterima oleh lampu postmodernis. Mereka dapat, misalnya, sesuai dengan standar atau aturan yang kita telah "menciptakan". Atau, seperti "Nazisme yang salah", sesuai hadir "rasa sastra" kami. Tanggapan tidak akan terkesan kritikus. Pertama menandai penolakan tumpul dari kendala cerdas dan dimengerti, wacana. The mendivestasikan kedua pengertian seperti standar dan nilai-nilai akal, untuk orang-orang yang kita dapat membuat dan membatalkan di akan, atau sesuai selera, tidak bisa bermain peran dalam bimbingan perilaku dan penilaian bahwa standar dan nilai-nilai, menjadi seperti, harus memiliki.