Selasa, 11 Oktober 2016

Pengimplementasian Inovasi Kurikulum 2013

Dalam perkembangan sistem pendidikan di Indonesia telah dilakukan berbagai upaya inovasi kurikulum dan pembelajaran, seperti perubahan tujuan kurikulum, restrukturisasi materi dan waktu, reorientasi pendekatan, dan strategi pembelajaran serta system penilaian. Untuk itu, sering dilakukan percobaan-percobaan atau studi kasus pada sekolah tertentu. Apabila dalam percobaan ini menunjukkan hasil yang baik, maka selanjutnya dituangkan dalam suatu kebijakan nasional untuk digunakan di seluruh Indonesia. Inovasi kurikulum dan pembelajaran di Indonesia harus dilakukan karena beberapa pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, relevansi, yaitu masih adanya ketidaksesuaian antara kurikulum yang digunakan dengan kebutuhan di lapangan. Di satu pihak, kurikulum menyediakan materi tentang A, B, dan C (misalnya), tetapi di pihak lain masyarakat/dunia kerja sudah membutuhkan tenaga yang memiliki pengetahuan A, B, C, dan D. begitu juga ketika anak masuk perguruan tinggi. Jadi, kurikulum yang ada selalu ketinggalan, dan ini sulit untuk dikejar karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang sangat cepat dan luar biasa. Untuk mengatasi kesenjangan relevansi tersebut, maka inovasi kurikulummutlak harus dilakukan,
Kedua, mutu pendidikan di Indonesia masih rendah dengan indikator-indikator tertentu. Jangankan untuk skala internasional, dalam skala ASEAN saja mutu pendidikan Indonesia masih di bawah Malaysia dan Singapura, bahkan Filiphina dan Thailand. Padahal kita tahu bahwa tahun 1970an orang-orang Malaysia banyak belajar ke Indonesia. Dalam upaya peningkatan mutu kurikulum ini, maka inovasi kurikulum harus dilakukan.
Ketiga, masalah pemerataan. Pembangunan pendidikan di Indonesia sampai saat ini memang masih kurang merata. Di satu sisi, pendidikan di kota dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tuntutan kurikulum, sementara di sisi lain, di kota kecil termasuk di daerah/desa sangat jauh ketinggalan. Hal ini mungkin disebabkan karena di kota besar (paling tidak di ibu kota kabupaten) pembangunan infrastruktur sudah tersedia sehingga kurikulum dapat berjalan dengan lebih baik. Untuk menghadapi masalah pemerataan pendidikan ini, maka perlu dilakukan inovasi kurikulum yang sesuai dengan kondisi objektif di kota maupun di desa.
Keempat, masalah keefektifan dan efisiensi pendidikan. Keefektifan berkenaan dengan keampuhan pelaksanaan kurikulum, baik tentang struktur kurikulum, metodologi, evaluasi, guru, pengawasan maupun instrumental input lainnya.  Masalah efisiensi berkenaan dengan manajemen kurikulum itu sendiri. Keterbatasan dana dan daya menuntut sistem manajemen kurikulum yang efesien dan terpadu, baik terpadu secara vertical maupun horizontal. Dalam efisiensi menyangkut juga aspek waktu, yaitu penggunaan waktu dalam setiap mata pelajaran.
Dalam rangkaian inovasi, implementasi menduduki posisi yang sangat penting, karena menyangkut sistem inovasi itu sendiri. Fullan dan Pomfret (1977) menjelaskan bahwa “…implementation refers to the actual of an innovation on what an innovation consist of in practice”. Pengertian lain dikemukakan Pressman dan Wildavsky (1973) yang mengatakan implementasi sebagai “… accomplishing, fulfilling, carrying out, producing and completing a policy”. Dengan demikian, tindakan melaksanakan atau lebih tepat disebut mewujudkan apa yang telah ditetapkan sebagai kebijakan merupakan pandangan yang hampir sama di antara para ahli bahwa ketika kebijakan telah ditetapkan, maka saat itu merupakan awal dari suatu kegiatan implementasi. Tanpa adanya proses implementasi sebagai salah satu titik yang menentukan dalam keseluruhan proses inovasi, maka tidak akan dapat diketahui daya guna dan hasil guna suatu inovasi.
Berkaitan dengan perubahan kurikulum, berbagai pihak menganalisis dan melihat perlunya diterapkan kurikulum berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter (competency and character based curriculum), yang dapat  membekali peserta didik dengan berbagai sikap dan kemampuan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tuntutan teknologi. Hal tersebut penting, guna menjawab tantangan arus globalisasi, berkontribusi pada pembangunan masyarakat dan kesejahteraan social, lentur serta adaptif terhadap berbagai perubahan. Kurikulum berbasis karakter dan kompetensi diharapkan mampu memecahkan berbagai persoalan bangsa, khusunya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna. Oleh karena itu, merupakan langkah yang positif ketika pemerintah (Mendikbud) merevitalisasi pendidikan karakter dalam seluruh jenis dan jenjang pendidikan, termasuk dalam pengembangan kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 menjanjikan lahirnya generasi penerus bangsa yang produktif, kreatif, inovatif, dan berkarakter. Dengan kreatvitas, anak-anak bangsa mampu berinovasi secara produktif untuk menjawab tantangan masa depan yang semakin rumit dan kompleks. Meskipun demikian, keberhasilan Kurikulum 2013 dalam menghasilkan insan yang produktif kreatif, dan inovatif, serta dalam merealisasikan tujuan pendidikan nasional untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat sangat ditentukan oleh berbagai faktor keberhasilan. Pertama, Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor penentu yang dapat menggerakkan semua sumber daya sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah melalui program-progam yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Keberhasilan Kurikulum 2013, menuntut kepala sekolah yang demokratis professional, sehingga mampu menumbuhkan iklim demokratis di sekolah, yang akan mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi terciptanya kualitas pendidikan dan pembelajaran yang optimal untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik.
Kedua, Kreativitas Guru, karena guru merupakan factor penting yang besar pengaruhnya bahkan sangat menentukan berhasil-tidaknya peserta didik dalam belajar. Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi, antara lain ingin mengubah pola pendidikan dari orientasi terhadap hasil dan materi ke pendidikan sebagai proses, melalui pendekatan tematik integratif dengan contextual teaching and learning (CTL). Oleh karena itu, pembelajaran harus sebanyak mungkin melibatkan peserta didik, agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi, dan mitra belajar bagi peserta didik.
Ketiga, Aktivitas Peserta Didik. Sebagai objek utama dalam kurikulum terutama dalam proses pembelajaran, peserta didik memegang peranan yang sangat dominan. Peserta didik dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, kemampuan motorik, pengalaman, kemauan dan komitmenyang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bias terjadi apabila peserta didik juga dilibatkan dalam proses inovasi kurikulum. Peserta didik perlu diperkenalkan dan dilibatkan dalam inovasi kurikulum sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resitensi.
Keempat, Sosialisasi Kurikulum 2013 sangat penting dilakukan, agar semua pihak yang terlibat dalam implementasinya di lapangan paham dengan perubahan yang harus dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sehingga mereka memberikan dukungan terhadap perubahan kurikulum yang dilakukan. Dalam hal ini, seharusnya pemerintah memgembangkan grand design yang jelas dan menyeluruh, agar konsep kurikulum yang diimplementasikan dapat dipahami oleh para pelaksana secara utuh, tidak ditangkap secara parsial, keliru atau salah paham. Sosialisasi kurikulum perlu dilakukan terhadap berbagai pihak yang terkait dalam implemntasinya, serta terhadap seluruh warga sekolah, bahkan terhadap masyarakat dan orang tua peserta didik.
Kelima, Fasilitas dan Sumber Belajar, merupakan hal yang turut mempengaruhi kelangsungan suatu inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi kurikulum dapat dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas (terutama fasilitas pembelajaran) merupakan hal yang sangat esensial dalam melakukan perubahan dan pembaruan kurikulum. Dalam penerapan inovasi kurikulum, factor fasilitas mutlak harus diperhatikan. Dalam pengembangan fasilitas dan sumber belajar, guru di samping harus membuat sendiri alat pembelajaran dan alat peraga, juga harus berinisiatif mendayagunakan lingkungan sekitar sekolah sebagai sumber belajar yang lebih konkret.
Harus disadari bahwa sampai saat ini, buku pelajaran masih merupakan sumber belajar yang sangat penting bagi para peserta didik, meskipun masih banyak yang tidak memilikinya, terutama bagi sekolah-sekolah yang berada di luar kota, di pedesaanm dan di daerah-daerah terpencil. Hendaknya, pemilihan buku pelengkap tetap beredoman pada rekomendasi atau pengesahan dari dinas pendidikan, dan pertimbangan lain yang tidak memberatkan orang tua. Sehubungan dengan itu, hendaknya kepala sekolah, guru, dan pengawas sekolah tidak memaksakan kepada peserta didik untuk membeli buku terbitan tertentu setiap tahun. Sebaiknya peserta didik dianjurkan menggunakan buku-buku bekas milik kakak atau keluarga lain yang sudah tidak dipakai lagi. Ini penting, karena dalam kondisi ekonomi nasional yang carut marut sekarang ini banyak orang tua yang tidak mampu lagi untuk membiayai pendidikan anaknya.
Keenam, Lingkungan yang Kondusif Akademik, baik fisik maupun non fisik. Lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, optimism dan harapan ynag tinggi dari seluruh warga sekolah, kesehatan sekolah, serta kegiatan-kegiatan yang terpusat pada peserta didik merupakan iklim yang dapat membangkitkan nafsu, gairah dan semangat belajar. Iklim belajar yang kondusif merupakan tulang punggung dan factor pendorong yang dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi proses belajar, sebaliknya iklim belajar yang kurang menyenangkan akan menimbulkan kejenuhan dan rasa bosan.
Kurikulum 2013 seharusnya bisa dijadikan sebagai tonggak perbaikan berkesinambungan dalam pendidikan; perbaikan-perbaikan selanjutnya dapat dapat dilakukan oleh guru dan kepala sekolah, sehingga tidak harus ganti orang ganti kurikulum. Bahkan kalua masih memungkinkan selama bangsa Inodnesia masih mendasarkan kehidupannya pada Pancasila dan UUD 1945, tidak usah lagi ada perubahan kurikulum secara makro, cukup perubahan atau penyesuaian di tingkat sekolah dan satuan pendidikan. Dengan demikian perubahan kurikulum itu menjadi tugas guru, dan kepala sekolah, serta bekerja sama dengan masyarakat melalui komite sekolah di bawah pengawasan dinas pendidikan.
Dalam implementasi Kurikulum 2013, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam seluruh pembelajaran pada setiap bidang studi yang terdapat pada kurikulum. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap bidang studi perlu dikembangkan, diekspisitkan, dihubungkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan nilai, dan pembentukan karakter tidak hanya dilakukan pada tataran kognitif, tetapi menyentuh internalisasi, dan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan mengarah pada pembentukan budaya sekolah/madrasah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, serta simbol-simbol yang dipraktikan oleh semua warga sekolah/madrasah, dan masyarakat sekitarnya. Budaya sekolah/madrasah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah/madrasah tersebut di mata masyarakat luas. Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan, dan pembiasaan; melalui berbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Dengan demikian; apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting, dan urut membentuk karakter peserta didik.
Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan sekaligus berbasis kompetensi perlu diciptakan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), dan guru dengan kepala sekolah yang harus memulainya; serta mereka pula yang harus mengakhirinnya. Melalui pembelajatan yang efektif dan menyenangkan diharapkan tercipta suasana sekolah yang aman, nyaman dan tertib serta memungkinkan semua peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya secara optimal. Melalui pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, pula diharapkan lahir lulusan-lulusan berkualitas dari setiap lembaga pendidikan; sehingga lahir sumber-sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang mampu mengolah kekayaan alam Indonesia yang melimpah, di darat, laut dan udara; bukan malah menggadaikan atau menjualnya kepada negara asing dengan tidak bertanggung jawab. Melalui pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, juga diharapkan lahir lulusan-lulusan yang mampu mandiri dan berkreasi untuk membangun ibu pertiwi, sehingga tidak bergantung pada orang lain.  Meskipun demikian, tidak sedikit juga hambatan yang terjadi setiap kali melakukan upaya inovasi. Hambatan itu antara lain dapat disebabkan oleh tidak sesuainya latar belakang kultur masyarakat (terutama guru) tempat inovasi itu dikembangkan dengan budaya Indonesia. Penyebab lainnya adalah masih kurangnya sikap dan kemampuan berpikir kritis, analitis, reflektif, konstruktif, dan antisipatif terhadap inovasi yang dikenalkan, baik mengenai kegunaannya maupun imlplikasi yang mungkin timbul, sekarang atau pada masa yang akan dating. Penerimaan inovasi juga belum dibarengi dengan tekad dan semangat baru serta kerja keras dari guru, sebab inovasi itu bukan “dukun” yang dapat mengobati segala macam penyakit. Dengan demikian, “nilai dan esensi dari suatu inovasi belum menjadi milik intrinsik manusia Indonesia sebagai akibat dari penerimaan inovasi demi target formalistic belaka.” (Soepardjo Adikusumo, 1986).
Guru memang memiliki potensi, tetapi guru juga memiliki keterbatasan. Beberapa keterbatasan guru antara lain : (a) guru mempunyai waktu yang terbatas untuk mengkaji lebih lanjut informasi-informasi tentang inovasi, (b) guru mempunyai tingkat kemampuan yang bervariasi, menyebabkan pemahaman, sikap dan kemampuan mengimplementasikan inovasi kurikulum juga bervariasi, (c) guru kurang memperolehkesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya terutama yang berkaitan dengan novasi kurikulum, dan (d) sikap antara guru yang satu dengan guru lainnya berbeda. Ada guru yang antusias untuk memahami lebih jauh tentang inovasi kurikulum, bahkan ada guru yang merasakan bahwa inovasi merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan professional. Meskipun demikian, tidak sedikit juga guru yang menolak untuk melaksanakan inovasi.
Keterbatasan-keterbatasan guru ini mengimplikasikan perlunya perencanaan yang matang dan komprehensif tentang inovasi kurikulum dalam berbagai tingkatan dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan hambatan yang akan terjadi sehingga keterbatasan tersebut dapat diatasi dengan segera.








DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. (2014). Konsep, Model, dan Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT Remaja      Rosdakarya
Hamalik, Oemar. (2011). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Mulyasa, E. (2014). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung : PT Remaja    Rosdakarya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar