Dalam perkembangan
sistem pendidikan di Indonesia telah dilakukan berbagai upaya inovasi kurikulum
dan pembelajaran, seperti perubahan tujuan kurikulum, restrukturisasi materi
dan waktu, reorientasi pendekatan, dan strategi pembelajaran serta system
penilaian. Untuk itu, sering dilakukan percobaan-percobaan atau studi kasus
pada sekolah tertentu. Apabila dalam percobaan ini menunjukkan hasil yang baik,
maka selanjutnya dituangkan dalam suatu kebijakan nasional untuk digunakan di
seluruh Indonesia. Inovasi kurikulum dan pembelajaran di Indonesia harus
dilakukan karena beberapa pertimbangan sebagai berikut.
Pertama,
relevansi, yaitu masih adanya
ketidaksesuaian antara kurikulum yang digunakan dengan kebutuhan di lapangan.
Di satu pihak, kurikulum menyediakan materi tentang A, B, dan C (misalnya),
tetapi di pihak lain masyarakat/dunia kerja sudah membutuhkan tenaga yang
memiliki pengetahuan A, B, C, dan D. begitu juga ketika anak masuk perguruan tinggi.
Jadi, kurikulum yang ada selalu ketinggalan, dan ini sulit untuk dikejar karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang sangat cepat dan luar biasa.
Untuk mengatasi kesenjangan relevansi tersebut, maka inovasi kurikulummutlak
harus dilakukan,
Kedua,
mutu pendidikan di Indonesia masih rendah
dengan indikator-indikator tertentu. Jangankan untuk skala internasional, dalam
skala ASEAN saja mutu pendidikan Indonesia masih di bawah Malaysia dan
Singapura, bahkan Filiphina dan Thailand. Padahal kita tahu bahwa tahun 1970an
orang-orang Malaysia banyak belajar ke Indonesia. Dalam upaya peningkatan mutu
kurikulum ini, maka inovasi kurikulum harus dilakukan.
Ketiga,
masalah pemerataan. Pembangunan pendidikan
di Indonesia sampai saat ini memang masih kurang merata. Di satu sisi,
pendidikan di kota dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tuntutan kurikulum,
sementara di sisi lain, di kota kecil termasuk di daerah/desa sangat jauh
ketinggalan. Hal ini mungkin disebabkan karena di kota besar (paling tidak di
ibu kota kabupaten) pembangunan infrastruktur sudah tersedia sehingga kurikulum
dapat berjalan dengan lebih baik. Untuk menghadapi masalah pemerataan
pendidikan ini, maka perlu dilakukan inovasi kurikulum yang sesuai dengan
kondisi objektif di kota maupun di desa.
Keempat,
masalah keefektifan dan efisiensi
pendidikan. Keefektifan berkenaan dengan keampuhan pelaksanaan kurikulum, baik
tentang struktur kurikulum, metodologi, evaluasi, guru, pengawasan maupun
instrumental input lainnya. Masalah
efisiensi berkenaan dengan manajemen kurikulum itu sendiri. Keterbatasan dana
dan daya menuntut sistem manajemen kurikulum yang efesien dan terpadu, baik
terpadu secara vertical maupun horizontal. Dalam efisiensi menyangkut juga
aspek waktu, yaitu penggunaan waktu dalam setiap mata pelajaran.
Dalam rangkaian
inovasi, implementasi menduduki posisi yang sangat penting, karena menyangkut sistem
inovasi itu sendiri. Fullan dan Pomfret (1977) menjelaskan bahwa
“…implementation refers to the actual of an innovation on what an innovation
consist of in practice”. Pengertian lain dikemukakan Pressman dan Wildavsky
(1973) yang mengatakan implementasi sebagai “… accomplishing, fulfilling,
carrying out, producing and completing a policy”. Dengan demikian, tindakan
melaksanakan atau lebih tepat disebut mewujudkan apa yang telah ditetapkan
sebagai kebijakan merupakan pandangan yang hampir sama di antara para ahli
bahwa ketika kebijakan telah ditetapkan, maka saat itu merupakan awal dari
suatu kegiatan implementasi. Tanpa adanya proses implementasi sebagai salah
satu titik yang menentukan dalam keseluruhan proses inovasi, maka tidak akan
dapat diketahui daya guna dan hasil guna suatu inovasi.
Berkaitan dengan
perubahan kurikulum, berbagai pihak menganalisis dan melihat perlunya diterapkan
kurikulum berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter (competency and
character based curriculum), yang dapat
membekali peserta didik dengan berbagai sikap dan kemampuan yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan zaman dan tuntutan teknologi. Hal tersebut
penting, guna menjawab tantangan arus globalisasi, berkontribusi pada
pembangunan masyarakat dan kesejahteraan social, lentur serta adaptif terhadap
berbagai perubahan. Kurikulum berbasis karakter dan kompetensi diharapkan mampu
memecahkan berbagai persoalan bangsa, khusunya dalam bidang pendidikan, dengan
mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna. Oleh
karena itu, merupakan langkah yang positif ketika pemerintah (Mendikbud)
merevitalisasi pendidikan karakter dalam seluruh jenis dan jenjang pendidikan,
termasuk dalam pengembangan kurikulum 2013.
Kurikulum 2013
menjanjikan lahirnya generasi penerus bangsa yang produktif, kreatif, inovatif,
dan berkarakter. Dengan kreatvitas, anak-anak bangsa mampu berinovasi secara
produktif untuk menjawab tantangan masa depan yang semakin rumit dan kompleks.
Meskipun demikian, keberhasilan Kurikulum 2013 dalam menghasilkan insan yang
produktif kreatif, dan inovatif, serta dalam merealisasikan tujuan pendidikan
nasional untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat sangat
ditentukan oleh berbagai faktor keberhasilan. Pertama, Kepemimpinan Kepala
Sekolah merupakan salah satu faktor penentu yang dapat menggerakkan semua
sumber daya sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran
sekolah melalui program-progam yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap.
Keberhasilan Kurikulum 2013, menuntut kepala sekolah yang demokratis
professional, sehingga mampu menumbuhkan iklim demokratis di sekolah, yang akan
mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi terciptanya kualitas pendidikan
dan pembelajaran yang optimal untuk mengembangkan seluruh potensi peserta
didik.
Kedua,
Kreativitas Guru, karena guru merupakan
factor penting yang besar pengaruhnya bahkan sangat menentukan
berhasil-tidaknya peserta didik dalam belajar. Kurikulum 2013 yang berbasis
karakter dan kompetensi, antara lain ingin mengubah pola pendidikan dari
orientasi terhadap hasil dan materi ke pendidikan sebagai proses, melalui
pendekatan tematik integratif dengan contextual teaching and learning (CTL).
Oleh karena itu, pembelajaran harus sebanyak mungkin melibatkan peserta didik,
agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali
berbagai potensi, dan mitra belajar bagi peserta didik.
Ketiga,
Aktivitas Peserta Didik. Sebagai objek utama
dalam kurikulum terutama dalam proses pembelajaran, peserta didik memegang
peranan yang sangat dominan. Peserta didik dapat menentukan keberhasilan
belajar melalui penggunaan intelegensia, kemampuan motorik, pengalaman, kemauan
dan komitmenyang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bias
terjadi apabila peserta didik juga dilibatkan dalam proses inovasi kurikulum.
Peserta didik perlu diperkenalkan dan dilibatkan dalam inovasi kurikulum
sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi
juga mengurangi resitensi.
Keempat,
Sosialisasi Kurikulum 2013 sangat penting dilakukan,
agar semua pihak yang terlibat dalam implementasinya di lapangan paham dengan
perubahan yang harus dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
masing-masing, sehingga mereka memberikan dukungan terhadap perubahan kurikulum
yang dilakukan. Dalam hal ini, seharusnya pemerintah memgembangkan grand
design yang jelas dan menyeluruh, agar konsep kurikulum yang
diimplementasikan dapat dipahami oleh para pelaksana secara utuh, tidak
ditangkap secara parsial, keliru atau salah paham. Sosialisasi kurikulum perlu
dilakukan terhadap berbagai pihak yang terkait dalam implemntasinya, serta
terhadap seluruh warga sekolah, bahkan terhadap masyarakat dan orang tua
peserta didik.
Kelima,
Fasilitas dan Sumber Belajar, merupakan hal yang
turut mempengaruhi kelangsungan suatu inovasi yang akan diterapkan. Tanpa
adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi kurikulum dapat dipastikan tidak
akan berjalan dengan baik. Fasilitas (terutama fasilitas pembelajaran)
merupakan hal yang sangat esensial dalam melakukan perubahan dan pembaruan
kurikulum. Dalam penerapan inovasi kurikulum, factor fasilitas mutlak harus
diperhatikan. Dalam pengembangan fasilitas dan sumber belajar, guru di samping
harus membuat sendiri alat pembelajaran dan alat peraga, juga harus
berinisiatif mendayagunakan lingkungan sekitar sekolah sebagai sumber belajar
yang lebih konkret.
Harus disadari
bahwa sampai saat ini, buku pelajaran masih merupakan sumber belajar yang
sangat penting bagi para peserta didik, meskipun masih banyak yang tidak
memilikinya, terutama bagi sekolah-sekolah yang berada di luar kota, di
pedesaanm dan di daerah-daerah terpencil. Hendaknya, pemilihan buku pelengkap
tetap beredoman pada rekomendasi atau pengesahan dari dinas pendidikan, dan
pertimbangan lain yang tidak memberatkan orang tua. Sehubungan dengan itu,
hendaknya kepala sekolah, guru, dan pengawas sekolah tidak memaksakan kepada
peserta didik untuk membeli buku terbitan tertentu setiap tahun. Sebaiknya
peserta didik dianjurkan menggunakan buku-buku bekas milik kakak atau keluarga
lain yang sudah tidak dipakai lagi. Ini penting, karena dalam kondisi ekonomi
nasional yang carut marut sekarang ini banyak orang tua yang tidak mampu lagi
untuk membiayai pendidikan anaknya.
Keenam,
Lingkungan yang Kondusif Akademik, baik
fisik maupun non fisik. Lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib,
optimism dan harapan ynag tinggi dari seluruh warga sekolah, kesehatan sekolah,
serta kegiatan-kegiatan yang terpusat pada peserta didik merupakan iklim yang
dapat membangkitkan nafsu, gairah dan semangat belajar. Iklim belajar yang
kondusif merupakan tulang punggung dan factor pendorong yang dapat memberikan
daya tarik tersendiri bagi proses belajar, sebaliknya iklim belajar yang kurang
menyenangkan akan menimbulkan kejenuhan dan rasa bosan.
Kurikulum 2013
seharusnya bisa dijadikan sebagai tonggak perbaikan berkesinambungan dalam
pendidikan; perbaikan-perbaikan selanjutnya dapat dapat dilakukan oleh guru dan
kepala sekolah, sehingga tidak harus ganti orang ganti kurikulum. Bahkan kalua
masih memungkinkan selama bangsa Inodnesia masih mendasarkan kehidupannya pada
Pancasila dan UUD 1945, tidak usah lagi ada perubahan kurikulum secara makro,
cukup perubahan atau penyesuaian di tingkat sekolah dan satuan pendidikan.
Dengan demikian perubahan kurikulum itu menjadi tugas guru, dan kepala sekolah,
serta bekerja sama dengan masyarakat melalui komite sekolah di bawah pengawasan
dinas pendidikan.
Dalam implementasi
Kurikulum 2013, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam seluruh
pembelajaran pada setiap bidang studi yang terdapat pada kurikulum. Materi
pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap bidang
studi perlu dikembangkan, diekspisitkan, dihubungkan dengan konteks kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan nilai, dan pembentukan karakter tidak
hanya dilakukan pada tataran kognitif, tetapi menyentuh internalisasi, dan
pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter pada tingkat
satuan pendidikan mengarah pada pembentukan budaya sekolah/madrasah, yaitu
nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, serta
simbol-simbol yang dipraktikan oleh semua warga sekolah/madrasah, dan
masyarakat sekitarnya. Budaya sekolah/madrasah merupakan ciri khas, karakter
atau watak, dan citra sekolah/madrasah tersebut di mata masyarakat luas. Pada
umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan,
dan pembiasaan; melalui berbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Dengan
demikian; apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta
didik dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan keteladanan dan
pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan budaya serta
lingkungan yang kondusif juga sangat penting, dan urut membentuk karakter
peserta didik.
Kurikulum 2013
yang berbasis karakter dan sekaligus berbasis kompetensi perlu diciptakan
pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), dan guru dengan
kepala sekolah yang harus memulainya; serta mereka pula yang harus
mengakhirinnya. Melalui pembelajatan yang efektif dan menyenangkan diharapkan
tercipta suasana sekolah yang aman, nyaman dan tertib serta memungkinkan semua
peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya secara optimal.
Melalui pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, pula diharapkan lahir
lulusan-lulusan berkualitas dari setiap lembaga pendidikan; sehingga lahir
sumber-sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang mampu mengolah kekayaan alam
Indonesia yang melimpah, di darat, laut dan udara; bukan malah menggadaikan
atau menjualnya kepada negara asing dengan tidak bertanggung jawab. Melalui
pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, juga diharapkan lahir
lulusan-lulusan yang mampu mandiri dan berkreasi untuk membangun ibu pertiwi,
sehingga tidak bergantung pada orang lain.
Meskipun demikian, tidak sedikit juga hambatan yang terjadi setiap kali
melakukan upaya inovasi. Hambatan itu antara lain dapat disebabkan oleh tidak
sesuainya latar belakang kultur masyarakat (terutama guru) tempat inovasi itu
dikembangkan dengan budaya Indonesia. Penyebab lainnya adalah masih kurangnya
sikap dan kemampuan berpikir kritis, analitis, reflektif, konstruktif, dan
antisipatif terhadap inovasi yang dikenalkan, baik mengenai kegunaannya maupun
imlplikasi yang mungkin timbul, sekarang atau pada masa yang akan dating.
Penerimaan inovasi juga belum dibarengi dengan tekad dan semangat baru serta
kerja keras dari guru, sebab inovasi itu bukan “dukun” yang dapat mengobati
segala macam penyakit. Dengan demikian, “nilai dan esensi dari suatu inovasi
belum menjadi milik intrinsik manusia Indonesia sebagai akibat dari penerimaan
inovasi demi target formalistic belaka.” (Soepardjo Adikusumo, 1986).
Guru memang
memiliki potensi, tetapi guru juga memiliki keterbatasan. Beberapa keterbatasan
guru antara lain : (a) guru mempunyai waktu yang terbatas untuk mengkaji lebih
lanjut informasi-informasi tentang inovasi, (b) guru mempunyai tingkat
kemampuan yang bervariasi, menyebabkan pemahaman, sikap dan kemampuan
mengimplementasikan inovasi kurikulum juga bervariasi, (c) guru kurang
memperolehkesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya
terutama yang berkaitan dengan novasi kurikulum, dan (d) sikap antara guru yang
satu dengan guru lainnya berbeda. Ada guru yang antusias untuk memahami lebih
jauh tentang inovasi kurikulum, bahkan ada guru yang merasakan bahwa inovasi
merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan professional. Meskipun demikian, tidak
sedikit juga guru yang menolak untuk melaksanakan inovasi.
Keterbatasan-keterbatasan
guru ini mengimplikasikan perlunya perencanaan yang matang dan komprehensif
tentang inovasi kurikulum dalam berbagai tingkatan dengan mempertimbangkan
berbagai kemungkinan hambatan yang akan terjadi sehingga keterbatasan tersebut
dapat diatasi dengan segera.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. (2014). Konsep, Model, dan
Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Hamalik, Oemar. (2011). Kurikulum dan Pembelajaran.
Jakarta : Bumi Aksara.
Mulyasa, E. (2014). Pengembangan dan Implementasi
Kurikulum 2013. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar